Minggu, 11 November 2012

Mencium Aroma Kemenangan


“Sesungguhnya aku mempunyai jiwa perindu; Tidak pernah jiwaku meraih sebuah kedudukan , melainkan ia pasti merindukan lagi kedudukan diatasnya. Sekarang ia telah sampai pada kedudukan yang tertinggi di dunia (khalifah), dan tidak ada lagi yang melebihi kedudukan ini, tetapi kini, jiwaku mulai merindukan syurga”
(Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Rasyidin Kelima)
Hamdan wa syukran Lillah, Amma ba’du
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, seperti halnya Sultan Mehmed II atau yang masyhur di kenal Sultan Muhammad Al Fatih sang pembebas Konstantinnopel, adalah dua orang yang mencatatkan dirinya dalam sejarah kepahlawanan bukan karena kecelakaan sejarah. Mereka membangun kepantasan dalam dirinya untuk menjadi berhak atas setiap do’a yang mereka haturkan pada pemilik jagat.Sehingga saat-saat mereka membangun kepantasan itulah Allah anugrahkan kemampuan mengendus kemenangan jauh sebelum momentum pertempuran.  Jika kita memaknai setiap kata yang kita ucapkan adalah do’a, maka perhatikanlah ucapan Khalifah Umar bin Abdul Aziz diatas. Ucapan yang penuh obsesi, obsesi kepemimpinan didunia, karena memang itu pusat kompetensi dirinya. Tapi obsesi itu adalah obsesi langit, sehingga Allah berkenan meridhoinya. Kemudian,  Lihat lagi bagaimana Sultan Mehmed II berucap ketika iya masih berumur 12 tahun.
Niatku; Taat kepada perintah Allah,
        “Dan hendaknya kalian berjihad dijalanNya”            
                              (QS. Al-Maaidah : 35)
Semangatku; Berupaya dalam kesungguhan dalam melayani agamaku, agama Allah
Tekadku; Aku akan tekuk lututkan  orang-orang kafir dengan tentaraku, tentara Allah
Pikiranku ; Terpusat pada pembebasan, atas kemenangan dan kejayaan, dengan kelembutan Allah
Jihadku; dengan jiwa dan harta dan apa yang tersisa di dunia setelah ketaatan pada perintah Allah
Kerinduanku; Perang dan perang, ratusan ribu kali untuk mendapatkan ridha Allah
Harapanku; Pertolongan dan kemenangan dari Allah, dan ketinggian negara ini atas musuh-musuh Allah
Ayyuhal Ikhwah, Rasakan nuansa batin yang membuncah dari syairnya. Kita bisa bayangkan, nuansa batin itu berhasil dibangun di usia belia. Usia dimana keseluruhan manusia sedang membangun sketsa sejarahnya. Jika kemampuan perang, kemampuan dalam memahami sejarah, geografi, puisi, seni, ilmu teknik terapan, serta kefasihan dalam 8 bahasa : Arab, Turki, Persia,Prancis, Yunani, Serbia, Hebrew, dan Latin telah dikuasai sultan Muhammad Al fatih sejak berumur 17 tahun,  Maka pantas rasanya jika Muhammad Al Fatih merealisasikan obsesinya dengan memantaskan dirinya untuk menjadi pembukti bashirah Rosul Muhammad SAW.

لتفتحن القسطنطينية فلنعم الأمير أميرها ولنعالجيش ذلك الجيش
Kalian pasti akan membebaskan Konstantinopel, sehebat-hebat Amir (panglima perang) adalah Amir-nya dan sekuat-kuatnya pasukan adalah pasukannya (HR Ahmad)
Ikhwah sekalian, Rosulullah memang menjanjikan kemanangan kaum muslimin di berbagai bidang kehidupan. Namun kemenangan itu bukan dibangun di atas harapan kosong yang tanpa persiapan. Jika Allah mengajarkan kepada kita tentang kemenangan yang dibangun diatas harapan kosong yang tanpa persiapan maka tak mungkin Allah menurunkan ayat 60 dalam Qur’an surat Al-Anfal. Ikhwah sekalian, Aroma kemenangan itu dapat tercium jauh sebelum pertempuran itu terjadi. Dan, Setiap kita harus mampu mengendusnya. Dan kita mampu mengendusnya dari aset terpenting dakwah ini: Manusia. Kader-kader dakwah itu sendiri.
Menakar Jiwa Anasirut Taghyir
Anasirut taghyir ini adalah inti gagasan untuk membangun kepantasan manusia yang mampu mengemban kemenangan dakwah. Anasirut taghyir ini adalah kemampuan seseorang untuk mengubah dirinya dan mengubah orang lain. Yang harus dibangun adalah : Pertama, Konsep diri. Dalam bahasa psikologi, Charles Horton Cooley menyebutnya looking-glass self (diri cermin). Bagaimana pandangan diri kita sendiri terhadap diri kita sendiri. Ini penting, karena sangat tidak mungkin seorang kader dakwah melakukan sesuatu yang superior namun pandangannya terhadap dirinya sendiri masih inferior. Sikap inferior ini sangat terlihat saat pertempuran berlangsung. Ingatkah kita pada kisah perang ahzab atau khandaq, ketika beberapa kaum muslimin yang terindikasi munafik mundur dari medan pertempuran. Dan lihatlah dua cara bagaimana mereka mundur : Mundur teratur diam-diam dan izin yang tak layak atau dapat disebut adabul izti’dzan-nya seorang pecundang.  Perhatikan diri kita masing-masing, jika kita masih mencari celah untuk menghilang dari medan pertempuran atau mencari siyasat inferior untuk ijin dengan sikap pecundang, maka bertaubatlah karena antum punya ciri seorang Munafik!!!
Maka menjadi penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana konsep diri yang negatif itu. Dalam kajian psikologi komunikasi, William D. Brooks dan Philip Emmert menyebutkan tanda-tanda konsep diri yang negatif itu. Pertama, terlalu peka terhadap kritik. Iya tak terbuka dengan nasihat. Tak tahan kritik dan cenderung mempertahankan pendapatnya. Kedua, responsif terhadap pujian. Sangat ingin dipuji. Setiap kerjanya sangat ingin dilihat orang lain. Ketiga, tidak sanggup memberi penghargaan pada orang lain. Ia tak memiliki kecerdasan ukhuwah. Keempat, Ia merasa tak diperhatikan. Sehingga menganggap orang lain sebagai musuh bahkan terhadap sesama ikhwah yang berbeda pandangan dengannya. Terakhir, kelima, Pesimis terhadap kompetisi. Ia punya trauma persepsi. Layu sebelum berkembang. Mundur sebelum pertempuran. Saya kira kita sudah paham harus bersikap bagaimana. Yaitu bersikaplah dengan  antitesanya.
Apabila yang pertama adalah tentang kemampuan melihat kedalam diri, maka yang kedua ini adalah kemampuan memahami dan merumuskan realitas. Ya. Yang kedua adalah ide. Teringat kembali strategi perang yang dipakai Rosullullah SAW bersama para sahabat di perang khandaq. Ya. khandaq. Bukankah itu adalah strategi bangsa persia. Seorang sahabat dari persia Salman Al Farisi yang mengusulkannya.  Lihatlah, jika Rosulullah SAW memiliki sikap mental penolakan atau dalam bahasa uztad Ahmad Dzakirin, Rejective mentality, betapa tak mungkinnya usulan itu diterima. Ya. Agar generator ide terus berjalan kita harus punya budaya ilmiah dalam memproduksi ide. Objektif. Tak menganggap semua yang ada dikepala kita adalah benar dan yang ada di fikiran orang lain adalah salah. Tapi budaya ilmiah ini pun punya kaidah dalam memproduksi idenya. Anis Matta menyebutnya kemampuan berfikir hierarkis. Disebut hierarkis karena munculnya sebuah ide mesti diawali dari penyerapan indrawi dari kondisi realitas yang ada. Kondisi realitas ini terdiri dari kondisi faktual objektif, pemetaan masalah, alternatif solusi, dan lain sebagainya. Sehingga urutannya menjadi seperti ini : Daya serap, yaitu kemampuan menyerap seluruh hal yang berkaitan dengan kondisi realitas, kemudian dilanjutkan dengan daya analisis, yaitu kemampuan mengurai persoalannya. Setelah persoalan terurai, kemampuan selanjutnya adalah membangun atau mengkonstruksi bagian-bagian yang terpisah tadi menjadi satu, atau disebut daya konstrusi. Dan yang terakhir adalah daya cipta, kemampuan memproduksi ide-ide baru yang genuine.  Sehingga yang harus dimiliki seorang ikhwah atau kader dakwah untuk menghasilkan ide-ide out of the box yang segar adalah : daya serap, daya analisis, daya konstruksi, dan daya cipta. Out of the box bagi kita dan bagi lawan kita. Seperti halnya kaum kafir Quraisy yang menganggap ide strategi pertahanan dengan parit adalah hal baru yang tak pernah dilakukan bangsa arab sebelumnya.
Ikhwahfillah sekalian, dalam mencium aroma kemenangan jauh sebelum pertempuran setidaknya dua hal inilah yang dapat kita lihat dari kader-kader dakwah yang mengemban kemenangan islam ini. Sebagai cerminan awal apakah kemenangan dakwah ini sudah dapat terendus jauh sebelum pertempuran. Konsep diri dan ide segar sebagai syarat antitesa gagap zaman, karena tak mungkin kita menyelesaikan persoalan dahulu dengan solusi yang sama hari ini. Terakhir, agaknya semua ikhtiar ini akan berakhir sia-sia jika kita tak mampu mengontrol inti setiap laku manusia, yaitu, hati. Hati, dalam tafsir arab disebut Qalb, yang juga sama artinya dengan sifatnya. Berbolak balik. Hanya satu cara sesungguhnya, intensitas gerak hati menuju penguasa jagat, inilah yang menjadikan jiwa ini teduh dalam kobaran api jihad, lapang dalam keterdesakan, gembira dalam keperihan. Sehingga penting bagi kita untuk senantiasa bertaubat dalam dua hal: dosa dan ke tak sempurnaan ikhtiar. Hingga akhirnya kita turun kegelanggang walau sendirian, menuju medan pertempuran dan menang!!! Allahuakbar!!!Allahuakbar!!!Allahuakbar!!!
Yaa Allah.... Ampunilah aku tentang apa yang tidak mereka ketahui pada diriku,
Yaa Allah.... Jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka duga tentang diriku.
*Detha Alfrian Fajri