“Sesungguhnya aku mempunyai jiwa perindu; Tidak pernah jiwaku meraih
sebuah kedudukan , melainkan ia pasti merindukan lagi kedudukan diatasnya.
Sekarang ia telah sampai pada kedudukan yang tertinggi di dunia (khalifah), dan
tidak ada lagi yang melebihi kedudukan ini, tetapi kini, jiwaku mulai
merindukan syurga”
(Umar bin Abdul Aziz,
Khalifah Rasyidin Kelima)
Hamdan wa syukran Lillah, Amma ba’du
Khalifah Umar
bin Abdul Aziz, seperti halnya Sultan Mehmed II atau yang masyhur di kenal
Sultan Muhammad Al Fatih sang pembebas Konstantinnopel, adalah dua orang yang
mencatatkan dirinya dalam sejarah kepahlawanan bukan karena kecelakaan sejarah.
Mereka membangun kepantasan dalam dirinya untuk menjadi berhak atas setiap do’a
yang mereka haturkan pada pemilik jagat.Sehingga saat-saat mereka membangun
kepantasan itulah Allah anugrahkan kemampuan mengendus kemenangan jauh sebelum
momentum pertempuran. Jika kita memaknai
setiap kata yang kita ucapkan adalah do’a, maka perhatikanlah ucapan Khalifah
Umar bin Abdul Aziz diatas. Ucapan yang penuh obsesi, obsesi kepemimpinan
didunia, karena memang itu pusat kompetensi dirinya. Tapi obsesi itu adalah
obsesi langit, sehingga Allah berkenan meridhoinya. Kemudian, Lihat lagi bagaimana Sultan Mehmed II berucap
ketika iya masih berumur 12 tahun.
Niatku; Taat kepada perintah Allah,
“Dan hendaknya kalian
berjihad dijalanNya”
(QS. Al-Maaidah : 35)
Semangatku; Berupaya dalam kesungguhan dalam melayani
agamaku, agama Allah
Tekadku; Aku akan tekuk lututkan orang-orang kafir dengan tentaraku, tentara
Allah
Pikiranku ; Terpusat pada pembebasan, atas kemenangan
dan kejayaan, dengan kelembutan Allah
Jihadku; dengan jiwa dan harta dan apa yang tersisa
di dunia setelah ketaatan pada perintah Allah
Kerinduanku; Perang dan perang, ratusan ribu kali untuk
mendapatkan ridha Allah
Harapanku; Pertolongan dan kemenangan dari Allah, dan
ketinggian negara ini atas musuh-musuh Allah
Ayyuhal
Ikhwah, Rasakan nuansa batin yang membuncah dari syairnya. Kita bisa bayangkan,
nuansa batin itu berhasil dibangun di usia belia. Usia dimana keseluruhan
manusia sedang membangun sketsa sejarahnya. Jika kemampuan perang, kemampuan
dalam memahami sejarah, geografi, puisi, seni, ilmu teknik terapan, serta
kefasihan dalam 8 bahasa : Arab, Turki, Persia,Prancis, Yunani, Serbia, Hebrew,
dan Latin telah dikuasai sultan Muhammad Al fatih sejak berumur 17 tahun, Maka pantas rasanya jika Muhammad Al Fatih
merealisasikan obsesinya dengan memantaskan dirinya untuk menjadi pembukti
bashirah Rosul Muhammad SAW.
لتفتحن
القسطنطينية فلنعم الأمير أميرها ولنعالجيش ذلك الجيش
“Kalian pasti akan membebaskan Konstantinopel, sehebat-hebat
Amir (panglima perang) adalah Amir-nya dan sekuat-kuatnya pasukan adalah
pasukannya ” (HR
Ahmad)
Ikhwah
sekalian, Rosulullah memang menjanjikan kemanangan kaum muslimin di berbagai
bidang kehidupan. Namun kemenangan itu bukan dibangun di atas harapan kosong
yang tanpa persiapan. Jika Allah mengajarkan kepada kita tentang kemenangan
yang dibangun diatas harapan kosong yang tanpa persiapan maka tak mungkin Allah
menurunkan ayat 60 dalam Qur’an surat Al-Anfal. Ikhwah sekalian, Aroma
kemenangan itu dapat tercium jauh sebelum pertempuran itu terjadi. Dan, Setiap
kita harus mampu mengendusnya. Dan kita mampu mengendusnya dari aset terpenting
dakwah ini: Manusia. Kader-kader dakwah itu sendiri.
Menakar Jiwa Anasirut
Taghyir
Anasirut
taghyir ini adalah inti gagasan untuk membangun kepantasan manusia yang mampu
mengemban kemenangan dakwah. Anasirut taghyir ini adalah kemampuan seseorang
untuk mengubah dirinya dan mengubah orang lain. Yang harus dibangun adalah :
Pertama, Konsep diri. Dalam bahasa psikologi, Charles Horton Cooley menyebutnya
looking-glass self (diri cermin).
Bagaimana pandangan diri kita sendiri terhadap diri kita sendiri. Ini penting,
karena sangat tidak mungkin seorang kader dakwah melakukan sesuatu yang
superior namun pandangannya terhadap dirinya sendiri masih inferior. Sikap
inferior ini sangat terlihat saat pertempuran berlangsung. Ingatkah kita pada
kisah perang ahzab atau khandaq, ketika beberapa kaum muslimin yang terindikasi
munafik mundur dari medan pertempuran. Dan lihatlah dua cara bagaimana mereka
mundur : Mundur teratur diam-diam dan izin yang tak layak atau dapat disebut
adabul izti’dzan-nya seorang pecundang. Perhatikan
diri kita masing-masing, jika kita masih mencari celah untuk menghilang dari
medan pertempuran atau mencari siyasat inferior untuk ijin dengan sikap
pecundang, maka bertaubatlah karena antum punya ciri seorang Munafik!!!
Maka menjadi
penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana konsep diri yang negatif itu.
Dalam kajian psikologi komunikasi, William D. Brooks dan Philip Emmert
menyebutkan tanda-tanda konsep diri yang negatif itu. Pertama, terlalu peka
terhadap kritik. Iya tak terbuka dengan nasihat. Tak tahan kritik dan cenderung
mempertahankan pendapatnya. Kedua, responsif terhadap pujian. Sangat ingin
dipuji. Setiap kerjanya sangat ingin dilihat orang lain. Ketiga, tidak sanggup
memberi penghargaan pada orang lain. Ia tak memiliki kecerdasan ukhuwah.
Keempat, Ia merasa tak diperhatikan. Sehingga menganggap orang lain sebagai
musuh bahkan terhadap sesama ikhwah yang berbeda pandangan dengannya. Terakhir,
kelima, Pesimis terhadap kompetisi. Ia punya trauma persepsi. Layu sebelum
berkembang. Mundur sebelum pertempuran. Saya kira kita sudah paham harus
bersikap bagaimana. Yaitu bersikaplah dengan
antitesanya.
Apabila yang
pertama adalah tentang kemampuan melihat kedalam diri, maka yang kedua ini
adalah kemampuan memahami dan merumuskan realitas. Ya. Yang kedua adalah ide.
Teringat kembali strategi perang yang dipakai Rosullullah SAW bersama para
sahabat di perang khandaq. Ya. khandaq. Bukankah itu adalah strategi bangsa
persia. Seorang sahabat dari persia Salman Al Farisi yang mengusulkannya. Lihatlah, jika Rosulullah SAW memiliki sikap
mental penolakan atau dalam bahasa uztad Ahmad Dzakirin, Rejective mentality, betapa tak mungkinnya usulan itu diterima. Ya.
Agar generator ide terus berjalan kita harus punya budaya ilmiah dalam
memproduksi ide. Objektif. Tak menganggap semua yang ada dikepala kita adalah
benar dan yang ada di fikiran orang lain adalah salah. Tapi budaya ilmiah ini
pun punya kaidah dalam memproduksi idenya. Anis Matta menyebutnya kemampuan
berfikir hierarkis. Disebut hierarkis karena munculnya sebuah ide mesti diawali
dari penyerapan indrawi dari kondisi realitas yang ada. Kondisi realitas ini
terdiri dari kondisi faktual objektif, pemetaan masalah, alternatif solusi, dan
lain sebagainya. Sehingga urutannya menjadi seperti ini : Daya serap, yaitu
kemampuan menyerap seluruh hal yang berkaitan dengan kondisi realitas, kemudian
dilanjutkan dengan daya analisis, yaitu kemampuan mengurai persoalannya.
Setelah persoalan terurai, kemampuan selanjutnya adalah membangun atau
mengkonstruksi bagian-bagian yang terpisah tadi menjadi satu, atau disebut daya
konstrusi. Dan yang terakhir adalah daya cipta, kemampuan memproduksi ide-ide
baru yang genuine. Sehingga yang harus dimiliki seorang ikhwah
atau kader dakwah untuk menghasilkan ide-ide out of the box yang segar adalah : daya serap, daya analisis, daya
konstruksi, dan daya cipta. Out of the
box bagi kita dan bagi lawan kita. Seperti halnya kaum kafir Quraisy yang
menganggap ide strategi pertahanan dengan parit adalah hal baru yang tak pernah
dilakukan bangsa arab sebelumnya.
Ikhwahfillah
sekalian, dalam mencium aroma kemenangan jauh sebelum pertempuran setidaknya
dua hal inilah yang dapat kita lihat dari kader-kader dakwah yang mengemban
kemenangan islam ini. Sebagai cerminan awal apakah kemenangan dakwah ini sudah
dapat terendus jauh sebelum pertempuran. Konsep diri dan ide segar sebagai
syarat antitesa gagap zaman, karena tak mungkin kita menyelesaikan persoalan
dahulu dengan solusi yang sama hari ini. Terakhir, agaknya semua ikhtiar ini
akan berakhir sia-sia jika kita tak mampu mengontrol inti setiap laku manusia,
yaitu, hati. Hati, dalam tafsir arab disebut Qalb, yang juga sama artinya
dengan sifatnya. Berbolak balik. Hanya satu cara sesungguhnya, intensitas gerak
hati menuju penguasa jagat, inilah yang menjadikan jiwa ini teduh dalam kobaran
api jihad, lapang dalam keterdesakan, gembira dalam keperihan. Sehingga penting
bagi kita untuk senantiasa bertaubat dalam dua hal: dosa dan ke tak sempurnaan
ikhtiar. Hingga akhirnya kita turun kegelanggang walau sendirian, menuju medan
pertempuran dan menang!!! Allahuakbar!!!Allahuakbar!!!Allahuakbar!!!
Yaa Allah.... Ampunilah aku tentang apa yang tidak mereka
ketahui pada diriku,
Yaa Allah.... Jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka
duga tentang diriku.
*Detha Alfrian Fajri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar