Jumat, 15 November 2013

Terserah Kau Saja Nak, Bunda Tetap Doa'kan





“Kalau toh kau tak jadi dokter jadi saja dokter komputer, ah.. tapi terserah kau saja nak, bunda tetap mendoakanmu menjadi pemimpin orang-orang bertaqwa”

                Kalimat itu terlontar dari bibir ibuku sesaat sebelum aku memutuskan memilih apa aku dalam SPMB (penj-sekarang SNMPTN) tahun 2007. Dan akhirnya aku pun menuruti kata ibuku untuk memilih jurusan pendidikan dokter di Universitas Brawijaya (UB). Sebulan kemudian keluarlah pengumuman itu dan bagi teman-teman yang mengenalku hari ini tentu sudah tau hasilnya. Tidak lulus. Seketika itu pula aku menelepon ibuku yang sebenarnya diujung telepon sana sudah menunggu apa hasil SPMBku. Setelah aku ceritakan hasilnya, diujung telepon yang membuat airmata ini tak terasa berlinang adalah ucapannya “Le....dijurusan apapun kamu, jadi apapun kamu nanti. Doa bunda tetap. Kamu jadi pemimpin orang-orang yang bertaqwa.” Mungkin bagi sebagian orang kalimat ini sederhana. Tapi menjadi tak sederhana bagiku karena itu terucap dari bibir seorang ibu yang kata Rosul doa seorang ibu itu tanpa hijab menembus arsy Allah SWT. Dan doa itu dapat kurasakan. Ah....entahlah bagaimana sebaliknya..,apa ibuku kini merasakan doaku. Mungkin ya, mungkin juga tidak. Aku merasa dosaku terlalu banyak. Ah... Bunda, maafkan mas ya kalau bunda belum merasakan doa yang mas panjatkan.

Selasa, 12 November 2013

Saat Kau Tak Tau Apa yang Menghalangimu

Hari ini, seharusnya makalah itu harus terkumpul pukul sepuluh pagi ini. Tapi bisa kah kau bayangkan, sampai denting jam dipukul sepuluh kurang seperempat tak satu huruf pun mengalir dibait judul dalam cover atau bait pendahuluan. Dan kau lebih nyaman membuka laman webmu dan menuangkan rasa dan asamu. Bukan tak peduli, tapi ada desir yang tak jadikan makalah kuliah master itu jadi prioritas. Manusia tak digerakkan logika. ia digerakkan oleh rasa yang didukung logika. Dan makalah itu tak masuk dalam desir itu. ia Halus. bukan juga karena aku tak berhasrat pada masterku. Mungkin ini tafsirku tentang bait rasa Kahlil Gibran "Aku tidak mengetahui kebenaran mutlak. Tetapi aku menyadari kebodohanku itu, dan disitulah terletak kehormatan dan pahalaku". Bahwa tertahan bukan berarti kesalahan.

Senin, 11 November 2013

Karena Kau Cuma Manusia



Di dasar Alam fikiran kita, memang harus ada dua hal pertimbangan yang berbeda secara diametral; salah atau benar, dosa atau pahala, neraka atau syurga, hitam atau putih. kadang kau memilih yang pertama, terjerembab dan terpuruk dalam. setelah itu menyesal. Dan nikmatilah penyesalannya. Karena rukun pertama Taubat adalah penyesalan. Setelah itu melangkahlah, jangan diam. Karena diam berarti memilih antitesa penyesalan yang berarti tak mungkin terjadi pertaubatan. jalan saja terus, karena hidup hanya soal perbaikan. bukankah kata shaleh juga berasal dari kata ishlah yang berarti kaizen dalam kosakata Jepang. Jika kau terpuruk dan terjatuh lagi, lakukan lagi kaidah yang sama seperti sebelumnya. sesederhana itu hidup. Hanya kau harus memastikan bahwa hidupmu berakhir pada kondisi yang kedua. #KarenaKauCumaManusia

Minggu, 10 November 2013

Kecenderungan Jiwa

Ia adalah anak dari kecocokan jiwa, tanpa itu, tak mungkin ia memilenia.
tau kah kamu, apa kata Qur'an tentang Yusuf dan Zulaikha??
"wa la qad hammat bihii, wa hamma bi haa"
"Dan Sungguh, perempuan itu (Zulaikha) telah berkehendak padanya (Yusuf) dan Yusuf pun berkehendak kepadanya (Zulaikha)"
Lihat...didepan perempuan itu..Logika Yusuf hampir Lumpuh..
Tapi Allah, lanjutkan ayatnya..
"Lau Laa arra a burhana rabbihi"
"sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya"
seandainya Yusuf tak ingat Tuhannya, mungkin kisahnya tak lagi menyejarah..

Sulit rasanya meniru lelaki langit ini.. logikanya tak lumpuh dihadapan perempuan.
#TaukahKauHampirLumpuhkanLogikaku

Selasa, 05 November 2013

Belajar Kepahlawanan Dari Dua Teladan

Kalau bukan karena kesulitan, maka semua orang akan jadi pahlawan.
-Al-Mutanabbi, penyair Arab-

Penjelasan tentang mengapa tak seluruh manusia yang hadir di kolong langit ini tercatat dalam sejarah salah satunya bisa kita dapatkan pada ungkapan penyair kenamaan itu, Al-Mutanabbi.  Tentang kesulitan, tekanan, pukulan, dan semacamnya yang mengancam mencerabut kenyamanan hidup yang tak setiap orang punya penyikapan yang sama. Benar kata sebagian orang bahwa hidup adalah tentang sikap kita atas setiap kejadian, dan bukan kejadian itu sendiri. Sehingga mungkin hal inilah yang menjadi penjelasan puisi Chairil Anwar “biar peluru menembus kulitku/aku tetap meradang menerjang//Luka dan bisa kubawa berlari/berlari/Hingga hilang pedih perih. Inilah sikap kepahlawanan. Apa yang terjadi pada dirinya tak serta merta membuatnya diam. Bukan karena pahlawan itu manusia super. Tapi karena ia tau bahwa sikap menentukan posisinya dimata manusia dan Allah SWT. Itu sebabnya ia memilih untuk tidak menjadi manusia rata-rata. Karena manusia rerata tak pernah bisa membangun medan magnet yang mampu menjadikan masyarakat berkumpul disekitar dirinya. Karena dengan medan magnet itulah sang pahlawan mengirim sinyal idealisme dan cita-cita pada masyarakatnya.

Tradisi Kepahlawanan
Meneladani dan diteladani adalah tradisi kepahlawanan.  Itu sebabnya ia hanya menganggap bahwa diri ini tak ubahnya seperti parabola, menangkap sinyal dan menyalurkannya menjadi siaran. Itu sebabnya tak sembarang orang ia jadikan teladan. Agar sinyal yang ia salurkan jadi siaran pada masyarakatnya tak bercacat.  Jika pun ia ingin melihat referensi Maha Agung dari Allah SWT maka hanya dua orang yang tersebut sebagai uswatun hasanah, yaitu Ibrahim AS dan Muhammad SAW. Dua orang yang namanya selalu tersebut dalam shalawat kaum muslimin sampai hari ini. Yang pertama pada QS Al Mumtahanah:4 dan yang kedua ada pada QS Al Ahzab:21. Perhatikan bagaimana gambaran Al Qur’an dalam Surat An Nahl pada awal ayat 120  tentang Ibrahim AS, “Sesungguhnya Ibrahim adalah ummat”, dalam Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb mengatakan seakan-akan ia adalah sebuah ‘ummat’ dari sekelompok manusia dalam kebaikan dan pahalanya. Bukankah nilai kepahlawanan itu telah diajarkan oleh nabi Ibrahim AS, bahwa pahlawan adalah ia yang mengumpulkan kebaikan-kebaikan yang terserak dimasyarakatnya untuk disimpul menjadi satu pada dirinya sehingga bisa mengarahkan masyarakatnya.
Bagaimana dengan Muhammad SAW? Rasanya tak habis pelajaran itu kita gali dari mata air kehidupan beliau. Tapi biarlah satu ayat ini menjelaskan tentang garis kepahlawanan yang bisa kita teladani, QS At Taubah:128. Ayat ini menjelaskan kaidah kepahlawanan beliau. Pertama, Sungguh, telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Sayyid Quthb mengatakan bahwa Allah tak menyebutkan dengan sebutan Rasul dari kalian, tetapi dari kaummu sendiri. Ungkapan ini lebih sensitif, lebih dalam, dan lebih menunjukkan ikatan yang mengaitkan mereka. Jika boleh saya mengartikan, bahwa Sebutan ini mengindikasikan dua hal; tentang kedalaman ikatan hati dan tentang pengetahuan yang luas lagi dalam akan siapa Muhammad itu. Keduanya berpadu pada satu tubuh. Dua hal itu adalah Bani Hasyim dan Al Amin. Keturunan terhormat dan sifat terhormat. Maka ia dikenal sebagai manusia terbaik oleh masyarakatnya sebelum ia menyampaikan risalah, ide serta cita-citanya. Ini kaidah kepahlawanan pertama; kebaikannya dikenal melebihi kebaikan rata-rata oleh masyarakatnya. Kedua, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami. Ini adalah kaidah kepahlawanan kedua, Empati. Tak hanya melangit pada karakter dan pengetahuannya, tapi juga menyatu batin dengan masyarakatnya. Mungkin kaidah ini tepat sebagaimana yang di gambarkan Anis Baswedan tentang ciri kepemimpinan Indonesia masa depan; “Global Competence and Grassroot understanding”. Ketiga, Sangat menginginkan (Keimanan dan keselamatan) bagimu. Seperti kata orang bijak; “mimpimu tak akan terwujud sampai mimpi itu menjadi impian banyak orang”. Tak hanya tentang visi, mimpi, dan harapan bersama tapi juga altruisme tingkat tinggi. Keempat, Penyantun dan penyayang terhadap orang-orang beriman. Yang terakhir ini adalah tentang cara memenangkan hati.
Bersyukurlah bagi mereka yang mulai mempersiapkan kontribusi kepahlawanannya sejak dini. Kontribusi yang tak harus terlihat mata manusia. Karena penyematan gelar kepahlawanan sesungguhnya bukan oleh manusia, tapi oleh penduduk langit. Siapkan saja punggung yang kuat untuk menanggung beban. Karena kebanyakan manusia akan menyerahkannya padamu.