“Kalau bukan karena
kesulitan, maka semua orang akan jadi pahlawan.”
-Al-Mutanabbi, penyair
Arab-
Penjelasan
tentang mengapa tak seluruh manusia yang hadir di kolong langit ini tercatat
dalam sejarah salah satunya bisa kita dapatkan pada ungkapan penyair kenamaan
itu, Al-Mutanabbi. Tentang kesulitan,
tekanan, pukulan, dan semacamnya yang mengancam mencerabut kenyamanan hidup
yang tak setiap orang punya penyikapan yang sama. Benar kata sebagian orang
bahwa hidup adalah tentang sikap kita atas setiap kejadian, dan bukan kejadian
itu sendiri. Sehingga mungkin hal inilah yang menjadi penjelasan puisi Chairil
Anwar “biar peluru menembus kulitku/aku tetap meradang menerjang//Luka dan bisa
kubawa berlari/berlari/Hingga hilang pedih perih. Inilah sikap kepahlawanan.
Apa yang terjadi pada dirinya tak serta merta membuatnya diam. Bukan karena
pahlawan itu manusia super. Tapi karena ia tau bahwa sikap menentukan posisinya
dimata manusia dan Allah SWT. Itu sebabnya ia memilih untuk tidak menjadi
manusia rata-rata. Karena manusia rerata tak pernah bisa membangun medan magnet
yang mampu menjadikan masyarakat berkumpul disekitar dirinya. Karena dengan
medan magnet itulah sang pahlawan mengirim sinyal idealisme dan cita-cita pada
masyarakatnya.
Tradisi Kepahlawanan
Meneladani
dan diteladani adalah tradisi kepahlawanan.
Itu sebabnya ia hanya menganggap bahwa diri ini tak ubahnya seperti
parabola, menangkap sinyal dan menyalurkannya menjadi siaran. Itu sebabnya tak
sembarang orang ia jadikan teladan. Agar sinyal yang ia salurkan jadi siaran
pada masyarakatnya tak bercacat. Jika
pun ia ingin melihat referensi Maha Agung dari Allah SWT maka hanya dua orang
yang tersebut sebagai uswatun hasanah,
yaitu Ibrahim AS dan Muhammad SAW. Dua orang yang namanya selalu tersebut dalam
shalawat kaum muslimin sampai hari ini. Yang pertama pada QS Al Mumtahanah:4
dan yang kedua ada pada QS Al Ahzab:21. Perhatikan bagaimana gambaran Al Qur’an
dalam Surat An Nahl pada awal ayat 120 tentang Ibrahim AS, “Sesungguhnya Ibrahim adalah ummat”, dalam Fi Zhilalil Qur’an,
Sayyid Quthb mengatakan seakan-akan ia adalah sebuah ‘ummat’ dari sekelompok
manusia dalam kebaikan dan pahalanya. Bukankah nilai kepahlawanan itu telah
diajarkan oleh nabi Ibrahim AS, bahwa pahlawan adalah ia yang mengumpulkan kebaikan-kebaikan
yang terserak dimasyarakatnya untuk disimpul menjadi satu pada dirinya sehingga
bisa mengarahkan masyarakatnya.
Bagaimana
dengan Muhammad SAW? Rasanya tak habis pelajaran itu kita gali dari mata air
kehidupan beliau. Tapi biarlah satu ayat ini menjelaskan tentang garis
kepahlawanan yang bisa kita teladani, QS At Taubah:128. Ayat ini menjelaskan
kaidah kepahlawanan beliau. Pertama, Sungguh,
telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Sayyid Quthb
mengatakan bahwa Allah tak menyebutkan dengan sebutan Rasul dari kalian, tetapi dari
kaummu sendiri. Ungkapan ini lebih sensitif, lebih dalam, dan lebih
menunjukkan ikatan yang mengaitkan mereka. Jika boleh saya mengartikan, bahwa
Sebutan ini mengindikasikan dua hal; tentang kedalaman ikatan hati dan tentang
pengetahuan yang luas lagi dalam akan siapa Muhammad itu. Keduanya berpadu pada
satu tubuh. Dua hal itu adalah Bani Hasyim dan Al Amin. Keturunan terhormat dan
sifat terhormat. Maka ia dikenal sebagai manusia terbaik oleh masyarakatnya
sebelum ia menyampaikan risalah, ide serta cita-citanya. Ini kaidah
kepahlawanan pertama; kebaikannya dikenal melebihi kebaikan rata-rata oleh
masyarakatnya. Kedua, berat terasa
olehnya penderitaan yang kamu alami. Ini adalah kaidah kepahlawanan kedua,
Empati. Tak hanya melangit pada karakter dan pengetahuannya, tapi juga menyatu
batin dengan masyarakatnya. Mungkin kaidah ini tepat sebagaimana yang di
gambarkan Anis Baswedan tentang ciri kepemimpinan Indonesia masa depan; “Global
Competence and Grassroot understanding”. Ketiga, Sangat menginginkan (Keimanan dan keselamatan) bagimu. Seperti kata
orang bijak; “mimpimu tak akan terwujud sampai mimpi itu menjadi impian banyak
orang”. Tak hanya tentang visi, mimpi, dan harapan bersama tapi juga altruisme
tingkat tinggi. Keempat, Penyantun dan
penyayang terhadap orang-orang beriman. Yang terakhir ini adalah tentang
cara memenangkan hati.
Bersyukurlah
bagi mereka yang mulai mempersiapkan kontribusi kepahlawanannya sejak dini.
Kontribusi yang tak harus terlihat mata manusia. Karena penyematan gelar
kepahlawanan sesungguhnya bukan oleh manusia, tapi oleh penduduk langit.
Siapkan saja punggung yang kuat untuk menanggung beban. Karena kebanyakan
manusia akan menyerahkannya padamu.