Selasa, 04 September 2012

Utopia kemenangan dualisme gerakan


Revolusi kita menang dalam menegakkan Negara baru,
Dalam menghidupkan kepribadian bangsa.
Tetapi..
Revolusi sosial kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya….”
-Bung Hatta-

                Hamdan wa syukron Lillah, Amma Ba’d…
Rasanya tidak berlebihan jika ana menganalogikan bentang sejarah gerakan dakwah kita di bumi brawijaya dengan perkataan seorang sosialis Indonesia sekaligus tokoh proklamasi dan wakil presiden Indonesia pertama yaitu Bung Hatta. Betapa tidak, Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pendahulu yang sudah berjuang untuk madaninya Brawijaya. Dakwah ini sudah memegang tampuk kekuasaan Eksekutif Mahasiswa selama 7 tahun, terlihat seperti kemenangan permanen. Tapi jika kita melihat tren suara yang ada maka tren suara kita menurun. Berarti ada yang perlu di perbaiki pada basis sosial kita.

Pada diskusi pekanan ikhwah lalu, yang membuat ana tertawa –walaupun hanya dalam hati- adalah tema diskusinya yang menggelitik, “mengapa kita harus merebut EM 1”. Agaknya dalam hati berbisik “bosankah kita dengan kemenangan “permanen” selama ini…??” ataukah dakwah politik kita selama ini tidak membawa maslahat sehingga kita berfikir ulang tentang perebutan tampuk kekuasaan eksekutif. Kemudian muncullah gagasan gerakan struktural dan kultural atau vertical horizontal.
Sejak awal gerakan dakwah ini sudah memiliki visi peradaban. Ini berarti tidak ada dikotomi antara vertical horizontal atau structural kultural apalagi tarbawi dan politik. Ana hanya ingin menegaskan bahwa wacana gerakan structural dan cultural (yang ana sebut dualisme gerakan)hanya menjadi wacana utopis yang tanpa makna jika soliditas internal kita rapuh. Dalam konteks partai politik, parpol yang besar dimasa datang adalah parpol yang memiliki kematangan demokrasi internal dan militansi kader. Kedua factor ini adalah factor internal. Sehingga kemenangan EM1 akan menjadi otomatis jika basis sosial kita kuat. Inilah logika kemengan permanen. Dan basis sosial kita kuat jika internal kita kuat. Dan internal kita kuat jika kualitas tarbawi kita meningkat.
Bukankah karakter gerakan ini memiliki 4 basis :
-          Qaidah Sya’biyah
-          Qaidah  Harokiyah
-          Qoidah Fikriyah
-          Qoidah Siyasiyah

Orang – orang dari Qoidah sya’biyah kita rekrut menjadi kader Qoidah Harokiyah, dan orang – orang Qoidah harokiyah kita rekrut untuk menjadi Basis pemikir operasionalisasi dakwah dan diantara mereka ada pemimpin yang menjadi kader Qoidah siyasiyah. Jadi antum itu adalah saripatinya umat. Karena antum berada pada level Qoidah Fikriyah sekaligus Qoidah siyasiyah. Bisa dibayangkan jika inti sari umat tidak memiliki pemahaman terhadap pentingnya soliditas internal. Seperti yang ana katakana diatas soliditas internal itu lahir karena kematangan tarbawi. Tidak adanya mekanisme tabayyun misalnya, ini juga indikator belum matangnya tarbawi. Begitu juga jika ada kader yang berada di SKI merasa lebih soleh, lebih tentram dari pada saudaranya yang beramanah di wilayah politik. Ini bahaya, karena lahir dari tidak matangnya tarbawi sebab efeknya seperti belah bambu.
Oleh sebab itu kita harus memiliki early warning system dalam mendeteksi menurunnya kualitas tarbawi(Anis Matta). Ada dua yaitu mutu gossip dan jenis – jenis konflik diantara ikhwah. Lihat saja jika sedang ada waktu senggang apa yang menjadi pembicaraan dikalangan ikhwah. Jika tidak strategis dan berbobot yang dibicarakan maka sulit untuk menuntut pada kemenangan dakwah yang hakiki karena sari patinya masyarakat saja obrolannya tidak berbobot. Yang kedua, jenis-jenis konflik yang sering terjadi. Kita lihat, jenis konflik yang sering terjadi pada ikhwah apakah itu layak dijadikan penyebab konflik atau tidak.karena kualitas masalah seseorang itu bergantung pada kualitas individunya. Dan terkadang penyelesaiannya pun tidak berkelas karena tidak memiliki landasan ilmiah, syuro misalnya.

Sehingga pada akhirnya, jika kita hanya berbicara pada level terluar perjuangan dakwah di ranah politik yaitu kemengan EM1 saja maka ada celah yang menganga lebar dalam konsep kemenangan dakwah kita, yaitu kematangan tarbawi yang imbasnya pada kemenangan dakwah di Brawijaya. Ana hanya ingin kita semua sadar bahwa kita itu adalah anasirut taghyir yaitu unsur perubah dalam masyarakat. Yang dalam masyarakat mereka menamakannya tokoh masyarakat. Sehingga sekecil apapun maksiat yang kita perbuat atau kemandekan tarbawi yang kita alami pasti berimbas pada agenda – agenda kemenangan dakwah kita dilevel manapun. Bahkan agaknya kita tidak perlu lagi untuk merebut EM1 jika masyarakat sudah berada pada level kontribusi terhadap dakwah ini, dan level ini –menurut hemat ana-mensyaratkan tiga hal yaitu akselerasi kematangan tarbawi, kualitas dan kuantitas kader yang merata sekaligus banyak(proporsi antara kader dan jumlah masyarakat kampus), dan rapinya struktur internal kita. jika sudah begitu kita punya agenda yang lebih besar lagi yang harus diselesaikan, yaitu menjadikan kurikulum kampus menjadi kurikulim pencetak anasirut taghyir pada level Negara.Wallohu a’lam bishowab.

*Detha Alfrian Fajri, dari kamar kontrakan GAZA FIA. Saat 3 hari menjelang sumpah pemuda 2010.
referensi_integrasi dakwah dan politik, Anis Matta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar