Senin, 31 Agustus 2015

The Art of Creating Educated Society: The Scholars and Their Responsibilities



"the worth of a state in the long run is the worth of the individuals composing it"
-John Stuart Mill-

      Apakah yang bisa kita pelajari dari hubungan antara bentuk istana dan kualitas masyarakat sebuah peradaban bangsa? Agaknya kita dapat mengambil pelajaran dari kekaisaran Ottoman. Bahwa kemegahan istana negara/kerajaan memiliki korelasi terhadap ruh dan kualitas masyarakatnya. Topkapi Sarayi dan Dolmabahce sarayi. Dua  istana kerajaan ottoman beda generasi. Keduanya di Istanbul. Kota yang Napoleon Bonaparte singgung dalam quote-nya, "If the earth were a single state, Istanbul would be its capital." A capital of the earth. Topkapi adalah istana yang dibangun atas perintah sultan Muhammad al Fatih setelah penaklukan konstantinopel. Bentuknya sederhana. Lebih menyerupai benteng ketimbang Istana. Tapi Topkapi sarayi dibangun oleh pemimpin yang Rasul katakan, "latuftahanal qunstantiniah, falani'mal amiru, amiruha. falani'mal jaizu dzalikal jaiz".. Konstantinopel akan dibebaskan. Dan sebaik-baik pemimpin adalah  pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya. 

      Sedangkan Istana Dolmabahce adalah istana yang dibangun pada tahun 1843 sampai dengan 1856. Marmernya adalah marmer terbaik dari Italia.  Empat belas ton emas melapisi Langit-langit istana seluas 45.000 meter persegi dalam bentuk dedaunan. Total biaya yang digunakan sekitar lima juta koin emas mecidiye Ottoman atau 35 ton emas. Namun, kita semua ingat bahwa kerajaan Ottoman runtuh di tahun 1922. Artinya pembangunan istana itu kurang dari 80 tahun menjelang keruntuhannya. Istananya megah, tapi ruh dan kualitas masyarakatnya lemah. Bandingkan dengan Istana Topkapi, bentuknya seperti benteng sederhana. Tapi dibangun oleh pemimpin terbaik prediksi Sang Nabi. Tentu juga dengan pengikutnya (pasukannya) yang juga pengikut terbaik prediksi Sang Nabi.

      Seakan kedua Istana beda generasi ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa ruh dan kualitas manusia berbanding terbalik dengan kemegahan berlebih dari bangunannya. Istana Topkapi dibangun sesaat setelah kemenangan, sedangkan Istana Dolmabahce dibangun menjelang keruntuhan. Sebuah fakta sejarah bahwa kualitas bangsa bukan ternilai dari megah mewah gedungnya. Tapi kualitas manusianya. persis seperti ungkapan John Stuart Mill diatas. Pada point ini lah pendidikan berperan penting sebagai Pembangun Manusia.

Bagaimana Pembangunan Manusia Indonesia?

       Laporan kementerian pendidikan dan kebudayaan tahun 2012 mencatat bahwa mereka yang lulus SMA/sederajat pada tahun 2011 hanya 43.4% dari total angkatan mereka ketika pertama kali masuk SD, yaitu 4.9 juta. Hal ini berarti dalam tahun itu terdapat 2.1 juta anak-anak Indonesia yang tidak memiliki ijasah SMA. Jika hal ini dibiarkan 10 tahun saja. Maka kita akan "memproduksi" 21 juta anak Indonesia yang tak berijasah SMA. Dalam kondisi seperti ini, bonus demografi bukan lagi sebagai anugerah, Tapi kutukan bagi sejarah.

      Padahal pada era borderless dan global citizenship hari ini, bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki kualitas manusia terbaik dari seluruh dunia. Sehingga penting bagi sebuah negara memiliki kemampuan "Talent Management" dalam skala nasional. Pertanyaan-pertanyaan seperti "how to attract the best talent around the globe?", "How to growing talent from the inside?", ataupun "How to retain those talents?" seharusnya terjawab melalui kebijakan nasional. INSEAD Business School melalui Global Talent Competitiveness Index me-ranking 93 negara di dunia dalam hal kemampuan negara-negara tersebut dalam menarik, mempertahankan, dan menumbuhkan talent kelas dunia. Sayangnya, Indonesia sebagai salah satu negara berpengaruh di ASEAN masih berada di ranking 86. Cukup tertinggal dari 6 negara ASEAN lainnya; Singapore (2), Malaysia (35), Philippine (54), Thailand (61), Vietnam (75), dan bahkan Cambodia (83).

So, what should we do as a scholar or a professional?

      Peraih nobel ekonomi 2001, Joseph Stiglitz dalam bukunya Creating a Learning Society (2014) mengungkapkan, "It has long been recognized that an improved standard of living results from advances in technology, not from the accumulation of capital. It has also become clear that what truly separates developed from less-developed countries is not just a gap in resources or output but a gap in knowledge. In fact, the pace at which developing countries grow is largely a function of the pace at which they close that gap." Gap kita dengan negara maju adalah knowledge. Pada point inilah peran kita dibutuhkan, yaitu: enhancing knowledge capacity of society. Apapun profesi, posisi, dan tempat kerja kita. Setidaknya menurut penulis ada 3 hal yang harus dilakukan untuk membangun knowledge capacity masyarakat, yaitu: membangun kebebasan berfikir, meningkatkan kesejahteraan, dan merancang rekayasa sosial. Semuanya dibangun dari lingkup terkecil kita, diri sendiri, keluarga, kampus, kantor, dst.

      Membangun kebebasan berpikir. Ini bukan tentang berpikir semaunya, tapi tentang membangun growth mindset. Growth mindset ini yang mendobrak fixed mindset. Apa itu fixed mindset? Seperti yang diungkapkan Carol Dweck dalam artikel Prof. Rhenald Kasali (2012), mereka yang memiliki fixed mindset cenderung menolak tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras sia-sia, tidak senang menerima kritik (umpan balik negatif) dan bila ada orang lain yang lebih hebat darinya maka ia sangat sinis dan menganggap mereka sebagai ancaman. Orang-orang seperti ini biasanya arogan dan sering membanggakan apa yang telah dicapai sebelumnya. Semakin banyak tipe orang demikian, akan semakin sulit sebuah masyarakat berkembang. Itu sebabnya dibutuhkan banyak orang dengan mindset yang flexible. Growth mindset. Mereka yang mampu memperbarui pengetahuan dan pada akhirnya membangun mindset mereka. Mereka dengan Growth Mindset memiliki ciri-ciri merasa kualitas kecerdasannya belum seberapa. Mereka masih mau belajar, siap menerima tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras penting, menerima feedback negatif untuk melakukan koreksi dan bila ada pihak yang lebih hebat darinya maka ia akan menjadikan orang itu sebagai tempat belajar.

      Meningkatkan kesejahteraan. Belajar akan menyenangkan dan efektif apabila motivasi belajar datang dari dalam diri dan bukan paksaan. Inilah self actualization. Dalam motivation theory Maslow, self actualization adalah motivasi tertinggi manusia. Namun mereka yang melakukan sesuatu karena self actualization harus selesai dengan kebutuhan dasarnya terlebih dahulu. Kebutuhan dasar manusia yang kita sebut sandang, pangan dan papan inilah yang harus terpenuhi dahulu. Dalam bahasa Maslow adalah physical needs. Yaitu kebutuhan terendah manusia. Pada point inilah kesejahteraan itu dibutuhkan. Inilah sebab yang menjelaskan mengapa renaissance eropa terjadi. Karena tumbuhnya ekonomi eropa disebabkan menjamurnya merchant-merchant baru di Italia.

      Merancang Rekayasa  Sosial. Bagi mereka yang telah membaca buku The Tipping Point dari Malcom Gladwell (2002) pasti sadar betul apa pentingnya context dalam membentuk perilaku manusia. The Power of Context inilah yang dibangun. Dalam penjelasannya, Gladwell menggunakan buah pikiran dari kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling yang disebut the broken windows theory yang berpendapat bahwa kriminalitas merupakan akibat dari ketidakteraturan. Mereka menggambarkan, jika jendela sebuah rumah pecah namun dibiarkan saja dalam waktu yang lama. Maka siapapun yang melewati rumah itu cenderung menyimpulkan bahwa rumah itu tak terurus atau tak berpenghuni. Tak lama kemudian dipastikan akan ada kaca lain yang pecah sehingga berkembanglah anarki dan vandalism di sekitar rumah itu. Hal sebaliknya dapat diterapkan untuk kebaikan, yaitu menciptakan sebuah konteks atau suasana kondusif untuk belajar. Sehingga muncul learning culture masyarakat secara berangsur-angsur.

      Demikianlah seni membangun masyarakat tedidik. Setidaknya kali ini kita belajar tentang apa yang dapat kita kontribusikan bagi kemajuan masyarakat kita sendiri. Dimulai dari menumbuhkannya pada diri sendiri. Karena hari ini pendidikan telah menjadi sebuah bahasa bagi cemerlangnya masa depan masyarakat manapun. If mathematic is a language of sciences and music is a language of emotions. Todays, education is becoming a language of hope.
Selamat belajar dan terinspirasi!!

Source:
Gladwell, Malcolm. (2002). "The Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference". Back Bay Books. New York.
Stiglitz, Joseph E. (2014). "Creating a Learning Society: A New Approach to Growth, Development, and Social Progress". Columbia University Press.
Report: INSEAD Business School (2014). "Global Talent Competitiveness Index 2014. Growing talent for today and tomorrow". INSEAD. France.
Report: Ministry of Education and Culture (2012). "Indonesia Educational Statistics in Brief 2011/2012". Jakarta.
Article: "Growth Mindset".  Rhenald Kasali (13 Feb 2012). Jawa Pos.
Articke: "History" http://topkapisarayi.gov.tr/en/history
Article: "Istanbul-Dolmabahce palace" http://www.kultur.gov.tr/EN,31415/istanbul---dolmabahce-palace.html
Article: "Looking at the renaissance" http://www.open.ac.uk/Arts/renaissance2/economic.htm



Tidak ada komentar:

Posting Komentar