"the worth of a state in the long run
is the worth of the individuals composing it"
-John Stuart Mill-
Apakah yang bisa kita pelajari dari
hubungan antara bentuk istana dan kualitas masyarakat sebuah peradaban bangsa?
Agaknya kita dapat mengambil pelajaran dari kekaisaran Ottoman. Bahwa kemegahan
istana negara/kerajaan memiliki korelasi terhadap ruh dan kualitas
masyarakatnya. Topkapi Sarayi dan Dolmabahce sarayi. Dua istana kerajaan ottoman beda generasi. Keduanya
di Istanbul. Kota yang Napoleon Bonaparte singgung dalam quote-nya, "If
the earth were a single state, Istanbul would be its capital." A capital
of the earth. Topkapi adalah istana yang dibangun atas perintah sultan Muhammad
al Fatih setelah penaklukan konstantinopel. Bentuknya sederhana. Lebih
menyerupai benteng ketimbang Istana. Tapi Topkapi sarayi dibangun oleh pemimpin
yang Rasul katakan, "latuftahanal qunstantiniah, falani'mal amiru,
amiruha. falani'mal jaizu dzalikal jaiz".. Konstantinopel akan dibebaskan.
Dan sebaik-baik pemimpin adalah
pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.
Sedangkan Istana Dolmabahce adalah istana yang dibangun pada tahun 1843 sampai dengan 1856. Marmernya adalah marmer terbaik dari Italia. Empat belas ton emas melapisi Langit-langit istana seluas 45.000 meter persegi dalam bentuk dedaunan. Total biaya yang digunakan sekitar lima juta koin emas mecidiye Ottoman atau 35 ton emas. Namun, kita semua ingat bahwa kerajaan Ottoman runtuh di tahun 1922. Artinya pembangunan istana itu kurang dari 80 tahun menjelang keruntuhannya. Istananya megah, tapi ruh dan kualitas masyarakatnya lemah. Bandingkan dengan Istana Topkapi, bentuknya seperti benteng sederhana. Tapi dibangun oleh pemimpin terbaik prediksi Sang Nabi. Tentu juga dengan pengikutnya (pasukannya) yang juga pengikut terbaik prediksi Sang Nabi.
Sedangkan Istana Dolmabahce adalah istana yang dibangun pada tahun 1843 sampai dengan 1856. Marmernya adalah marmer terbaik dari Italia. Empat belas ton emas melapisi Langit-langit istana seluas 45.000 meter persegi dalam bentuk dedaunan. Total biaya yang digunakan sekitar lima juta koin emas mecidiye Ottoman atau 35 ton emas. Namun, kita semua ingat bahwa kerajaan Ottoman runtuh di tahun 1922. Artinya pembangunan istana itu kurang dari 80 tahun menjelang keruntuhannya. Istananya megah, tapi ruh dan kualitas masyarakatnya lemah. Bandingkan dengan Istana Topkapi, bentuknya seperti benteng sederhana. Tapi dibangun oleh pemimpin terbaik prediksi Sang Nabi. Tentu juga dengan pengikutnya (pasukannya) yang juga pengikut terbaik prediksi Sang Nabi.
Seakan kedua Istana beda generasi ini
memberikan pelajaran bagi kita bahwa ruh dan kualitas manusia berbanding
terbalik dengan kemegahan berlebih dari bangunannya. Istana Topkapi dibangun
sesaat setelah kemenangan, sedangkan Istana Dolmabahce dibangun menjelang
keruntuhan. Sebuah fakta sejarah bahwa kualitas bangsa bukan ternilai dari
megah mewah gedungnya. Tapi kualitas manusianya. persis seperti ungkapan John
Stuart Mill diatas. Pada point ini lah pendidikan berperan penting sebagai Pembangun
Manusia.
Bagaimana Pembangunan Manusia Indonesia?
Laporan kementerian pendidikan dan
kebudayaan tahun 2012 mencatat bahwa mereka yang lulus SMA/sederajat pada tahun
2011 hanya 43.4% dari total angkatan mereka ketika pertama kali masuk SD, yaitu
4.9 juta. Hal ini berarti dalam tahun itu terdapat 2.1 juta anak-anak Indonesia
yang tidak memiliki ijasah SMA. Jika hal ini dibiarkan 10 tahun saja. Maka kita
akan "memproduksi" 21 juta anak Indonesia yang tak berijasah SMA.
Dalam kondisi seperti ini, bonus demografi bukan lagi sebagai anugerah, Tapi kutukan bagi
sejarah.
Padahal pada era borderless dan global
citizenship hari ini, bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki kualitas
manusia terbaik dari seluruh dunia. Sehingga penting bagi sebuah negara
memiliki kemampuan "Talent Management" dalam skala nasional.
Pertanyaan-pertanyaan seperti "how to attract the best talent around the
globe?", "How to growing talent from the inside?", ataupun "How to retain
those talents?" seharusnya terjawab melalui kebijakan nasional. INSEAD
Business School melalui Global Talent Competitiveness Index me-ranking 93 negara
di dunia dalam hal kemampuan negara-negara tersebut dalam menarik,
mempertahankan, dan menumbuhkan talent kelas dunia. Sayangnya, Indonesia
sebagai salah satu negara berpengaruh di ASEAN masih berada di ranking 86.
Cukup tertinggal dari 6 negara ASEAN lainnya; Singapore (2), Malaysia (35),
Philippine (54), Thailand (61), Vietnam (75), dan bahkan Cambodia (83).
So, what should we do as a scholar or a
professional?
Peraih nobel ekonomi 2001, Joseph Stiglitz
dalam bukunya Creating a Learning Society (2014) mengungkapkan, "It has
long been recognized that an improved standard of living results from advances
in technology, not from the accumulation of capital. It has also become clear
that what truly separates developed from less-developed countries is not just a
gap in resources or output but a gap in knowledge. In fact, the pace at which
developing countries grow is largely a function of the pace at which they close
that gap." Gap kita dengan negara maju adalah knowledge. Pada point inilah peran
kita dibutuhkan, yaitu: enhancing knowledge capacity of society. Apapun
profesi, posisi, dan tempat kerja kita. Setidaknya menurut penulis ada 3 hal
yang harus dilakukan untuk membangun knowledge capacity masyarakat, yaitu: membangun kebebasan berfikir, meningkatkan
kesejahteraan, dan merancang rekayasa sosial. Semuanya dibangun dari lingkup terkecil kita, diri sendiri, keluarga,
kampus, kantor, dst.
Membangun kebebasan berpikir. Ini bukan
tentang berpikir semaunya, tapi tentang membangun growth mindset. Growth
mindset ini yang mendobrak fixed mindset. Apa itu fixed mindset? Seperti yang
diungkapkan Carol Dweck dalam artikel Prof. Rhenald Kasali (2012), mereka yang
memiliki fixed mindset cenderung menolak tantangan-tantangan baru, menganggap
kerja keras sia-sia, tidak senang menerima kritik (umpan balik negatif) dan
bila ada orang lain yang lebih hebat darinya maka ia sangat sinis dan menganggap
mereka sebagai ancaman. Orang-orang seperti ini biasanya arogan dan sering
membanggakan apa yang telah dicapai sebelumnya. Semakin banyak tipe orang
demikian, akan semakin sulit sebuah masyarakat berkembang. Itu sebabnya
dibutuhkan banyak orang dengan mindset yang flexible. Growth mindset. Mereka
yang mampu memperbarui pengetahuan dan pada akhirnya membangun mindset mereka.
Mereka dengan Growth Mindset memiliki ciri-ciri merasa kualitas kecerdasannya
belum seberapa. Mereka masih mau belajar, siap menerima tantangan-tantangan baru,
menganggap kerja keras penting, menerima feedback negatif untuk melakukan
koreksi dan bila ada pihak yang lebih hebat darinya maka ia akan menjadikan
orang itu sebagai tempat belajar.
Meningkatkan kesejahteraan. Belajar akan
menyenangkan dan efektif apabila motivasi belajar datang dari dalam diri dan
bukan paksaan. Inilah self actualization. Dalam motivation theory Maslow, self
actualization adalah motivasi tertinggi manusia. Namun mereka yang melakukan sesuatu karena self actualization harus selesai dengan kebutuhan dasarnya terlebih dahulu.
Kebutuhan dasar manusia yang kita sebut sandang, pangan dan papan inilah yang
harus terpenuhi dahulu. Dalam bahasa Maslow adalah physical needs. Yaitu
kebutuhan terendah manusia. Pada point
inilah kesejahteraan itu dibutuhkan. Inilah sebab yang menjelaskan mengapa renaissance eropa terjadi. Karena
tumbuhnya ekonomi eropa disebabkan menjamurnya merchant-merchant baru di
Italia.
Merancang Rekayasa Sosial. Bagi mereka yang telah membaca buku The Tipping Point dari Malcom Gladwell (2002) pasti
sadar betul apa pentingnya context dalam membentuk perilaku manusia. The Power
of Context inilah yang dibangun. Dalam penjelasannya, Gladwell menggunakan buah
pikiran dari kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling yang disebut the
broken windows theory yang berpendapat bahwa kriminalitas merupakan akibat dari
ketidakteraturan. Mereka menggambarkan, jika jendela sebuah rumah pecah namun
dibiarkan saja dalam waktu yang lama. Maka siapapun yang melewati rumah itu
cenderung menyimpulkan bahwa rumah itu tak terurus atau tak berpenghuni. Tak
lama kemudian dipastikan akan ada kaca lain yang pecah sehingga berkembanglah
anarki dan vandalism di sekitar rumah itu. Hal sebaliknya dapat diterapkan
untuk kebaikan, yaitu menciptakan sebuah konteks atau suasana kondusif untuk
belajar. Sehingga muncul learning culture masyarakat secara berangsur-angsur.
Demikianlah seni membangun masyarakat tedidik. Setidaknya kali ini kita belajar tentang apa yang dapat kita kontribusikan bagi kemajuan
masyarakat kita sendiri. Dimulai dari menumbuhkannya
pada diri sendiri. Karena hari ini pendidikan telah menjadi sebuah bahasa bagi cemerlangnya masa depan
masyarakat manapun. If mathematic is a language of sciences and music is a
language of emotions. Todays, education is becoming a language of hope.
Selamat belajar dan terinspirasi!!
Source:
Gladwell, Malcolm. (2002). "The
Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference". Back Bay
Books. New York.
Stiglitz, Joseph E. (2014). "Creating
a Learning Society: A New Approach to Growth, Development, and Social
Progress". Columbia University Press.
Report: INSEAD Business School (2014).
"Global Talent Competitiveness Index 2014. Growing talent for today and
tomorrow". INSEAD. France.
Report: Ministry of Education and Culture
(2012). "Indonesia Educational Statistics in Brief 2011/2012".
Jakarta.
Article: "Growth Mindset". Rhenald Kasali (13 Feb 2012). Jawa Pos.
Articke: "History"
http://topkapisarayi.gov.tr/en/history
Article: "Istanbul-Dolmabahce
palace"
http://www.kultur.gov.tr/EN,31415/istanbul---dolmabahce-palace.html
Article: "Looking at the
renaissance" http://www.open.ac.uk/Arts/renaissance2/economic.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar